Whoosh di Pusaran Kasus: Jerat Diplomasi China di Proyek Kereta Cepat

Ogah terlibatnya Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa dalam tim restrukturisasi utang Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) alias Whoosh menunjukkan sengkarut dan beratnya masalah yang menjerat Whoosh. Bagaimana nasib Whoosh ke depannya?

 

Proyek kereta cepat Whoosh yang digadang sebagai simbol kemajuan transportasi modern Indonesia kini memasuki babak baru dalam perbincangan publik. Di balik kebanggaan atas teknologi canggih dan waktu tempuh yang menyingkat jarak Jakarta–Bandung, terselip masalah serius, yakni menyangkut sejauh mana proyek ini menjerat Indonesia dalam diplomasi ekonomi China.

Whoosh merupakan bagian dari inisiatif Belt and Road Initiative (BRI), proyek global ambisius yang digagas China untuk memperluas jaringan pengaruhnya melalui investasi infrastruktur. Dengan pembiayaan besar dari pihak China, proyek ini bukan hanya urusan rel dan kecepatan, tetapi juga kepentingan geopolitik. Ketergantungan pada modal, teknologi, dan operator dari Negeri Tirai Bambu menjadikan Indonesia berada pada posisi diplomatik yang sensitif.

Meski pemerintah menegaskan kerja sama ini saling menguntungkan, muncul kekhawatiran proyek semacam Whoosh dapat memperdalam ketergantungan finansial dan teknologi terhadap China. Dalam konteks hubungan internasional, inilah yang disebut debt-trap diplomacy —jebakan diplomasi utang yang menempatkan negara penerima dalam posisi tawar lemah.

Kini, keberlanjutan Whoosh akan menjadi ujian bagi Indonesia: apakah mampu menjaga kedaulatan ekonomi dan politiknya, atau justru semakin terseret dalam jerat halus diplomasi China?

Dalam pandangan Wakil Ketua Komisi I DPR, diplomasi infrastruktur seperti Whoosh mencerminkan pergeseran pendekatan Indonesia dalam menjalin hubungan luar negeri, dari yang semula berbasis politik formal, kini semakin mengarah pada diplomasi ekonomi dan konektivitas. Dalam hal ini, keterlibatan mitra asing, yaitu China dalam proyek strategis seperti KCJB tentu membawa implikasi politik. Namun, Indonesia harus mampu memilah antara kerja sama yang saling menguntungkan dan ketergantungan yang berisiko. Selama prinsip kedaulatan, transparansi, dan kepentingan nasional dijaga, maka kerja sama semacam ini dapat menjadi instrumen diplomasi yang efektif. ptslot

Indonesia Berada di Persimpangan Pilihan

Adapun menyangkut persaingan dalam tender awal proyek Whoosh, Dave mencermati, Indonesia tidak bisa menafikan posisinya berada di persimpangan pilihan antara dua kekuatan ekonomi besar, yakni antara China dan Jepang. Proses seleksi yang terjadi kala itu mencerminkan betapa pentingnya Indonesia sebagai mitra strategis di kawasan. Namun, keputusan akhir harus dilihat sebagai bagian dari strategi nasional, bukan semata-mata preferensi geopolitik. Bagi dia, yang terpenting adalah bagaimana proyek Whoosh ini dijalankan secara efisien, akuntabel, dan memberikan manfaat nyata bagi masyarakat.

Dalam ulasannya lebih lanjut kepada wowresumetemplates.com  di Jakarta, Sabtu (25/10/2025), Dave mengakui Whoosh menjadi simbol Belt and Road Initiative (BRI), yaitu strategi pembangunan infrastruktur global yang diusung oleh China sejak tahun 2013, yang bertujuan menghubungkan China dengan negara-negara lain di seluruh dunia melalui darat (sabuk ekonomi jalur sutra) dan laut (jalur sutra maritim).

“Secara teknis, iya, karena proyek ini berada dalam kerangka kerja sama lintas negara yang didorong oleh inisiatif tersebut,” kata Dave. Namun, dia menekankan bahwa Indonesia juga harus memastikan bahwa simbolisme ini tidak mengaburkan kepentingan nasional. Artinya, Indonesia harus tetap menjadi aktor utama dalam setiap proyek strategis, bukan sekadar penerima investasi.

Mengenai peran para pemangku kepentingan dalam negeri, menurut Dave, tentu pihaknya mengapresiasi upaya mereka dalam mendorong percepatan pembangunan. Namun, dalam sistem demokrasi, setiap kebijakan publik harus tunduk pada prinsip akuntabilitas dan pengawasan. Keterlibatan BUMN dan elite politik harus dilihat dalam kerangka tata kelola yang baik, bukan semata-mata sebagai representasi kekuasaan.

Skema Pembayaran Jangan Korbankan Generasi Mendatang

Begitupun soal kritik terhadap potensi “jebakan utang”, Dave memandang hal itu bagian dari dinamika demokrasi yang sehat. Jadi, kritik perlu didengar, dianalisis, dan dijawab dengan data serta transparansi. Pemerintah tidak boleh alergi terhadap kritik, karena justru dari sanalah bisa memperbaiki kebijakan. Dia pun menggarisbawahi, yang penting adalah memastikan bahwa skema pembiayaan tidak mengorbankan generasi mendatang dan tetap berada dalam koridor keberlanjutan fiskal.

Di sisi lain, Dave juga menyoroti penggunaan proyek Whoosh dalam narasi politik menjelang atau pada masa transisi pemerintahan tentu sah-sah saja, selama tidak mengaburkan fakta dan tidak dijadikan alat propaganda. “Infrastruktur adalah warisan lintas pemerintahan, dan keberhasilannya harus menjadi milik bersama, bukan diklaim secara sepihak,” ujar politikus Partai Golkar ini.

Bagi dia, persepsi publik hari ini pun mencerminkan tumbuhnya kesadaran kritis masyarakat terhadap arah kemajuan bangsa. Di tengah pesatnya perkembangan teknologi dan konektivitas global, pihaknya melihat semangat kolektif yang bangga akan capaian anak negeri. Meski ada kekhawatiran terhadap pengaruh asing yang semakin kuat, menurut Dave, hal ini justru memperkuat tekad bersama untuk membangun daya saing dan memperkukuh karakter nasional, agar Indonesia terus melangkah maju tanpa kehilangan jati diri.

Diplomasi Whoosh dan Bayang-bayang China

Berbicara soal Whoosh termasuk masalahnya, memang tak bisa dipisahkan dengan China. Pengamat Hubungan Internasional UPN Veteran Jakarta Dr Asep Kamaluddin melihat proyek Whoosh sebagai representasi dari diplomasi geoekonomi China. Artinya, adanya Whoosh di Tanah Air sebagai keberhasilan kembali diplomasi China, yang dipayungi inisiatif Belt Road Initiative (BRI).

Nah, tentunya dari sisi politik dan hubungan luar negeri, Asep mengamati Whoosh memperkuat posisi China sebagai mitra strategis utama Indonesia dalam upaya menggeser dominasi Jepang di sektor tersebut. Lebih dari itu, juga dijadikan sebagai apa etalase kemampuan teknologi, komitmen, dan konektivitas global China bagi Indonesia. “Dan juga menunjukkan kepada dunia bahwa hubungan bilateral kepercayaan Indonesia terhadap China cukup tinggi,” kata Asep dalam perbincangan dengan Inilah.com di Jakarta, Sabtu (25/10/2025).

Kemenangan China dan Bumerang buat Indonesia

Bila ditarik ke belakang mengenai persaingan Jepang dan China untuk memenangkan tender proyek Whoosh ketika itu, menurut Asep, menjadi titik balik penting dalam dinamika investasi di Asia. Kemudian juga sebagai pemenang tender, dan dalam hal ini China, lebih menawarkan skema pembayaran yang dianggap lebih menarik bagi Indonesia berdasarkan tanpa jaminan utang dari APBN.

“Jadi awalnya kan business to business dan kemudian risikonya ditanggung oleh konsorsium BUMN Indonesia dan China kelompok. Kemudian kalau Jepang yang awalnya dianggap kandidat kuat, waktu itu seingat saya Jepang memang menawarkan bunga yang sangat rendah sekitar 0,1 persen, namun mensyaratkan jaminan pemerintah,” tutur Asep.

Hal itulah yang kemudian menjadi penolakan Presiden Joko Widodo ketika itu. Dari situ juga yang lantas menjadi titik balik kemenangan China dalam kebangkitan dan dominasi geoekonomi China di kawasan, dalam hal ini Indonesia.

Asep pun membenarkan kemenangan China ini akhirnya menjadi bumerang sendiri buat Indonesia karena sekarang terjerat utang yang menumpuk. Ia juga menilai sebenarnya karakter China di awal memberikan kemudahan, yang sampai sekarang sebetulnya komitmennya tidak berubah. Namun karena ketidakmampuan Indonesia dalam membuat perencanaan yang matang terkait Whoosh ini sehingga awalnya optimistis business to business itu bisa berjalan dengan baik tapi akhirnya ternyata secara regulasi —yang hal itu juga menjadi perdebatan saat ini— akhirnya menjadi utang pemerintah. “Nah, itu yang yang kemudian tidak diamini oleh Menteri Keuangan Purbaya saat ini,” ucap Asep menegaskan.

Yang jelas, dia menekankan, pihak China sebenarnya tidak mau tahu, yang intinya Indonesia harus bayar. “Terserah dari mana duitnya, ya gitu kan. Nah, itu termasuk dengan jebakan Batman lah katakanlah gitu, ya. Jebakan China ini ya, itu sebetulnya sudah berlaku juga di beberapa negara seperti di Tibet atau di Afrika,” kata Asep sembari mengingatkan ke depannya Indonesia harus lebih cermat lagi belajar dan berhitung.

Merugikan Pemerintah Prabowo

Adapun terkait narasi saat ini yang dibangun dalam artian dengan tujuan untuk mendorong pemerintah sekarang atau pemerintahan Presiden Prabowo Subianto untuk bertanggung jawab, menurut Asep, hal itu juga bagian dari upaya menyelesaikan masalah. “Jadi, kalau di kita kan ada no viral, no justice, ya. Mungkin dalam bisnis juga nih harus, harus ramai dulu gitu, baru diperhatikan.”

Di sisi lain, lagi-lagi hal ini merugikan pemerintah, namun menguntungkan mitra-mitra pengusaha. Dalam artian, mereka yang melakukan perjanjian tapi pemerintahan saat ini yang harus menanggung. Asep pun mengingatkan konsekuensinya berat kalau dengan China utangnya tidak lunas. “Mungkin harus ada beberapa perjanjiannya katanya ada jaminan pulau atau apa. Itu juga mungkin perlu ditelusuri lagi lebih lanjut,” ungkap Asep.

Lebih jauh dalam ulasannya Asep juga mengakui bahwa Whoosh ini bisa dikategorikan sebagai kebanggaan nasional sekaligus ketergantungan Indonesia akan pihak asing. “Kalau saya lihat sih, ada istilah high performance, low profit. Jadi secara keunggulan nama baik meningkatkan performa negara, tapi secara profit merugikan. Bahkan tidak ada profitnya, gitu kan,” tuturnya.

Hal itulah, menurut Asep, sebagai risiko atau dampak suatu kebijakan yang sangat fatal, meskipun tentunya juga tidak berpikir negatif terhadap pembuat kebijakan sebelumnya karena niatnya pasti baik seperti untuk meningkatkan citra bangsa atau melakukan nation branding sebagai bagian dari upaya mempromosikan atau bagian dari diplomasi.

Namun, dari itu semua menjadi koreksi besar, yang ketika suatu rencana tidak berjalan sebagaimana mestinya, berarti ada yang harus dievaluasi dan harus cepat diperbaiki. Lantas, bagaimana nasib Whoosh dan Indonesia atas China ke depannya? Apakah akan bisa keluar dari pusaran kasus ini?

Sumber : wowresumetemplates.com